Sesungguhnya di surga ada tingkatan yang tidak dapat dicapai oleh seorang hamba dengan amalnya, apa pun amalnya.
Allah telah menyediakan kedudukan tertentu di surga bagi hamba-hambanya yang beriman bukan karena amal mereka melainkan karena ujian dan cobaan yang menerpa. Oleh karenanya Allah I menyiapkan bagi mereka sebab-sebab yang akan mengantarkan mereka kepada ujian dan cobaan itu. Ya, sama persis seperti halnya Dia memberikan taufik kepada mereka untuk beramal shalih yang juga merupakan sebab-sebab yang akan menyampaikan mereka ke sana.
Ada tingkatan iman yang tidak bisa dicapai oleh seorang hamba dengan amalnya. Ia hanya akan mencapainya dengan ujian dan cobaan. Allah beriradah untuk meningkatkan imannya, maka Allah pun menetapkan ujian dan menolongnya untuk bersabar dan teguh menghadapinya. Jadi ini merupakan rahmat dari-Nya bagi sang hamba.
Bukankah sekiranya orang-orang musyrik Quraisy tidak merampas harta Shuhaib ar-Rumiy niscaya ia tidak akan mencapai derajat “Wahai Abu Yahya, perniagaanmu benar-benar beruntung.”[1]
Bukankah sekiranya keluarga Yasir tidak merasakan pedihnya siksa yang dilakukan oleh orang-orang musyrik Quraisy niscaya tidak akan sampai ke darajat, “Bersabarlah wahai keluarga Yasir. Sesungguhnya yang dijanjikan bagi kalian adalah surga.”[2]
Demi, sekiranya bukan karena Anas bin Nadlar tercacah tubuhnya dalam perang Uhud, ia tidak akan mendapatkan kemuliaan ‘Seandainya ia bersumpah, memohon sesuatu kepada Allah, niscaya Allah akan mengabulkannya.’
Kalaulah bukan karena itu, niscaya wajahnya tidak akan berseri-seri dan tidak akan terealisirlah apa yang diinginkannya saat ia bersumpah, ‘Demi Allah, gigi depan Rubayyi’ tidak akan copot.’[3]
Jika bukan karena siksa yang dirasakan oleh Bilal bin Rabah dari tangan Umayyah bin Khalaf dan algojo-algojonya, niscaya ia tidak mendapatkan gelar ‘Bilal, penghulu kita’[4]
Kalaulah bukan karena kesabaran Yusuf u saat digoda dan saat dipenjara, ia tidak akan mendapatkan panggilan ‘wahai yang terpercaya’ (Yusuf : 46)
Sekiranya bukan karena kesabaran ‘Umar bin Khathab mengenyam pahit-getirnya kebenaran dan keadilan, niscaya tangannya tidak akan terbentang menguasai dunia seisinya, atau seperti banyak dikatakan, ‘Tangannya terbentang, menyentuh bumi dengan kilau perhiasan.’
Sekiranya bukan karena kesabaran ‘Umar bin ‘Abdul’aziz mengenyam pahit-getirnya kebenaran dan keadilan, ia tidak akan diakui sebagai khalifah yang kelima.[5]
Jika bukan karena kesabaran ashhaburraji’ atas apa yang menerpa mereka di jalan Allah, niscaya mereka tidak akan menjadi orang-orang yang dimaksud oleh Allah dalam firman-Nya
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْرِى نَفْسَهُ ابْتِغَآءَ مَرْضَاتِ اللهِ
Dan di antara manusia ada yang menjual nyawanya demi mengharapkan keridlaan Allah. (al-Baqarah : 207)
Jika bukan karena kesabaran Sa’ad bin Mu’adz, perjuangannya di jalan Allah, darahnya yang mengalir saat perang Khandaq, dan hukumnya yang adil terhadap Bani Quraizhah, niscaya ia tidak akan meraih derajat ‘’Arsy ar-Rahman berguncang saat kematian Sa’ad’[6]
Jika bukan karena kesungguhan, pengorbanan, dan kesabaran ‘Abdullah bin Haram saat perang Uhud dan sebelumnya, ia tidak akan meraih derajat, ‘Wahai hamba-Ku, berangan-anganlah, niscaya Aku akan memberikannya kepadamu.’[7]
Andai bukan karena kesabaran Ahmad bin Hambal dalam menghadapi siksaan dan keteguhannya di atas kebenaran, ia tidak akan mencapai gelar ‘imam ahlussunnah’.
Andai bukan karena kesabaran dan keteguhan Sayyid Quthb dalam menghadapi ujian dan saat digantung, kata-katanya tidak akan dikenang, dan buku-bukunya pun tidak akan tersebar dan berpengaruh di berbagai belahan dunia.
Dus, jika Allah beriradah untuk memilih sebagian hamba-Nya supaya menjadi syuhada`, Dia akan menguasakan musuh kepada mereka yang akan membunuh dan menumpahkan darah mereka dalam cinta dan ridla-Nya, supaya mereka mengorbankan jiwa mereka di jalan-Nya.
Syahadah adalah derajat tertinggi setelah derajat para Nabi dan Shiddiqin. Syuhada` adalah orang-orang yang berkorban untuk Rabbnya. Mereka telah ridla kepada Allah, dan Allah pun telah memilih mereka untuk-Nya sendiri.
Karena itulah Allah mengadakan sebab-sebab untuk itu. Allah menjadikan musuh-Nya ~yang juga musuh orang-orang yang beriman~ sebagai sebab tercapainya syahadah orang-orang yang beriman.
Sungguh derajat yang tinggi.
Apabila Allah beriradah untuk mengangkat para da’i dan para mujahid ke derajat ini, maka mereka harus terbunuh di tangan musuh.
Di sana ada dosa besar yang hanya dapat dihapus oleh kebaikan yang besar atau ujian yang berat. Maka Allah menetapkan ujian bagi wali-wali-nya, supaya dosa-dosa mereka terhapuskan; yang kecil ataupun yang besar, yang tampak ataupun yang kasat mata, yang awal ataupun yang akhir, sampai tak tersisa lagi satu kesalahan pun. Lalu mereka menghadap Rabbnya sedangkan dosa-dosa mereka telah berguguran.
Kemuliaan yang tak terkira dan derajat yang sangat tinggi!
Kiranya inilah yang diisyaratkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh at-Tirmidziy dari Abu Hurairah t katanya, Rasulullah r bersabda,
مَا يَزَالُ الْبَلاَءُ بِالْمُؤْمِنِ وَالْمُؤْمِنَةِ فِي نَفْسِهِ وَوَلَدِهِ وَمَالِهِ حَتَّى يَلْقَى اللهَ وَمَا عَلَيْهِ خَطِيئَةٌ
Ujian akan terus menimpa seorang mukmin; laki-laki dan perempuan, menimpa dirinya, anaknya, dan hartanya, sehingga ia berjumpa dengan Allah tanpa membawa dosa.[8]
Penulis: Dr Najih Ibrahim
[1] Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak 3/398 dari Anas ra, “Ketika Shuhaib ra keluar dari Mekah untuk berhijrah, para penduduk Mekah mengikutinya. Shuhaib meraih kantung anak panahnya dan mengambil 40 batang anak panah seraya berkata, ‘Jangan mendekat, atau masing-masing kalian akan mendapatkan sebatang anak panah ini, lalu aku mencabut pedangku dan kalian akan tahu bahwa aku benar-benar laki-laki! Aku telah meninggalkan dua orang budak di Mekah, keduanya untuk kalian.’ Lalu Allah menurunkan firman-Nya
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِيْ نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاةِ اللهِ
Dan di antara manusia ada yang menjual nyawanya demi mengharapkan keridlaan Allah.
Ketika Shuhaib memasuki Madinah dan Nabi melihatnya, beliau saw bersabda, ‘Wahai Abu Yahya, perniagaanmu benar-benar beruntung.’ Lalu beliau membacakan ayat di atas.”
Al- Hakim berkata, “Shahih sesuai dengan syarat Muslim.”
Diriwayatkan pula oleh al-Baihaqiy dari Shuhaib seperti tertera dalam al-Bidayah 3/173 dan ath-Thabrani. Di dalam Majma’uz Zawaid 6/60, al-Baihaqiy berkata, “Ada beberapa perawi yang tidak saya kenal.”
Hadits di atas juga diriwayatkan secara mursal dari Sa’id bin Musayyib oleh Abu Sa’ad dalam ath-Thabaqat, 3/162, Ibnu ‘Abdulbarr dalam al-Isti’ab 2/180; dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya`1/152.
Hadits ini banyak sekali ‘syahid’nya, sehingga ini menunjukkan kebenarannya.
[2] Diriwayatkan oleh al-Hakim dari jalur ‘Uqail dari az-Zuhriy dari Isma’il bin ‘Abdullah bin Ja’far dari ayahnya seperti tersebut di dalam al-Ishabah 10/331. Ini adalah contoh sanad yang shahih dari hadits-hadits mursal shahabi. Yang seperti ini diterima oleh para ulama. Diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad dalam Msnad 1/62, ath-Thabraniy seperti tertera dalam Majma’uz Zawaid 9/293, dan Abu Nu’iam dalam Hilyatul Auliya` 1/140 dari jalur Salim bin Abu Ja’ad dari ‘Utsman ra. Al-Haitsmiy dalam Majma’ mengatakan bahwa para perawi hadits ini terpercaya. Hanyasaja, hadits dengan sanad tersebut munqathi’, karena Salim tidak pernah mendengar dari ‘Utsman.
Diriwayatkan pula oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak 3/388, ath- Thabarani dalam al-Mu’jamul Awsath 1531, al-Baihaqiy ~seperti tersebut dalam al-Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir 3/59~, dan adz-Dzahabiy dalam Tarikh Islam 1/129 dari Abu Zubeir dari Jabir ra.
Di dalam Majma’uz Zawaid, al-Haitsamiy mengatakan, “Para perawinya orang-orang yang shahih selain Ibrahim bin ‘Abdul’aziz, ia seorang yang dapat dipercaya.”
Al-Hakim berkata, “Ini shahih sesuai dengan syarat Muslim, namun keduanya tidak meriwayatkannya.”
Adz-Dzahabi menyepakati al-Hakim.
[3] Diriwayatkan oleh al-Bukhariy 5/306, Abu Dawud 4595, an-Nasa`iy 8/26, Ibnu Majah 2649, dan Ahmad dalam Musnad 3/128 dari Anas bin Malik ra. Terjemahan lafaz al-Bukhariy sebagai berikut, “Adalah Rubayyi’ ~putri Nadlar~ mematahkan gigi depan seorang anak perempuan. Keluarga Rubayyi’ meminta agar keluarga anak perempuan itu mau menerima uang tebusan dan memaafkan, namun mereka menolaknya. Maka mereka mendatangi Rasulullah saw dan Nabi pun memerintahkan qishash. Anas bin Nadlar berkata, ‘Haruskah gigi depan Rubayyi’ dipatahkan wahai Rasulullah? Tidak, demi yang telah mengutusmu dengan benar, gigi depannya tidak akan dipatahkan!’ Rasulullah membalas, ‘Wahai Anas, Allah memajibkan qishash.’ Setelah itu, keluarga anak perempuan itu ridla dan mau memaafkan. Maka Nabi saw bersabda, ‘Di antara sekian hamba Allah ada yang jika bersumpah kepada Allah, niscaya Allah akan mengabulkannya.’”
Diriwayatkan pula oleh Imam Muslim 11/162 dari hadits Anas dengan perbedaan orang yang mematahkan dan orang yang bersumpah. Para ulama mengatakan, ‘Riwayat yang lebih terkenal adalah riwayat al-Bukhariy.’ Imam an-Nawawiy berkata, “Memang ada dua kejadian yang melibatkan orang yang berbeda.”
[4] Diriwayatkan oleh al-Bukhariy 7/99 dari Jabir bin ‘Abdullah ra katanya, “‘Umar pernah berkata, ‘Abu Bakar tetua kita telah membebaskan tetua kita.’ Maksudnya Bilal.”
[5] Sufyan ats-Tsauriy mengatakan, “Khalifah itu ada lima; Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, dan ‘Umar bin ‘Abdul’aziz.”
Penuturan yang semisal diriwayatkan dari Mujahid dan Imam Ahmad. Bahkan kabarnya Sa’id bin Musayyib berkata, “Khalifah itu ada tiga; Abu Bakar, ‘Umar, dan ‘Umar”
Maksudnya ‘Umar bin Khathab dan ‘Umar bin ‘Abdul’aziz.
Baca kembali sirah beliau dalam karya Ibnul Jauzi hal. 59-60 cet. al-Muayyad tahun 1331 H.
[6] Diriwayatkan oleh al-Bukhariy 7/122, Muslim 16/12, at-Tirmidziy 3848, Ibnu Majah 158, dan Ahmad dalam Musnad 3/296 dari Jabir bin Abdullah ra. Tentang ini ada juga hadits dari Anas bin Malik, Usaid bin Hudlair, Asma` binti Zaid, Rumaitsah, dan selain mereka. Dalam Fathul Bari, Ibnu Hajar berkata, “Hadits tentang berguncangnya ‘Arsy ar-Rahman karena Sa’ad bin Mu’adz ini diriwayatkan oleh lebih dari sepuluh orang sahabat.” (Fathul Baari 7/124)
[7] Diriwayatkan oleh at-Tirmidziy, 3010 daan ia menshahihkannya. Juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah, 190, lafazh di atas lafazhnya, Ahmad, 361, dan al-Baihaqiy dalam Dalailun Nubuwwah 3/129 dari Jabir bin ‘Abdullah ra katanya, “Ketika ‘Abdullah bin ‘Amru bin Haram terbunuh dalam perang Uhud, Rasulullah saw bersabda, ‘Wahai Jabir, maukah kamu aku beritahukan apa yang Allah katakan kepada ayahmu?’ ‘Tentu saja, wahai Rasulullah.’, jawabku. Lalu Rasulullah berkata, ‘Allah selalu berbicara dengan siapa pun dari balik hijab, tetapi Dia berbicara dengan ayahmu secara langsung. Dia berkata, ‘Wahai hamba-Ku, mintalah sesuatu kepada-Ku, niscaya Aku akan memberikannya!’ Ayahmu berkata, ‘Duhai Rabbku, hidupkan aku sekali lagi supaya aku bisa terbunuh di jalan-Mu untuk yang kedua kali.’ Lalu Allah menjawab, ‘Sesungguhnya, telah aku putuskan bahwa orang-orang yang meninggal dunia tidak akan kembali lagi ke sana.’ ‘Wahai Rabbku, kalau begitu, sampaikan keadaanku kepada orang-orang yang ada di belakangku.’, kata ayahmu. Maka Allah menurunkan firman-Nya,
وَلاَ تَحْسَبَنَّ الَّذِيْنَ قُتِلُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُوْنَ
Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Rabbnya dengan mendapat rizki. (Ali ‘Imran : 169)
Hadits ini dinyatakan hasan oleh Syekh al-Albaniy.
Diriwayatkan juga oleh al-Hakim 3/203 dan ia berkata, “Isnadnya shahih, hanyasaja keduanya tidak meriwayatkannya.”
[8] Diriwayatkan oleh at-Tirmidziy, 2399 katanya, “Hadits hasan shahih.”
Diriwayatkan pula oleh Ahmad dalam Musnadnya 2/287 semisal dengannya dan dishahihkan oleh Syekh Ahmad Syakir. Al-Hakim juga meriwayatkannya dalam al-Mustadrak 4/314 dan berkata, “Shahih sesuai dengan syarat muslim, namun keduanya tidak meriwayatkannya.” Adz-Dzahabiy menyetujuinya.
Diriwayatkan pula oleh Imam Malik dalam al-Muwatha` 558, artinya: “Seorang mukmin akan terus ditimpa musibah; anaknya dan orang-orang dekatnya, sehingga ia berjumpa dengan Allah tanpa membawa dosa.”
0 komentar:
Posting Komentar