Saif Al Battar
Ternyata harapan itu masih jauh dari kenyataan. Banyak alumni tersebut yang baru mampu menambah jumlah belaka, belum memiliki kwalitas yang dibutuhkan oleh lapangan dakwah dan tarbiyah. Banyak di antara alumni yang merasa belum memiliki ‘apa-apa’ meski sudah bertahun-tahun belajar nyantri atau kuliah. Tak sedikit alumni yang berkeinginan untuk belajar kembali, namun faktor waktu, biaya, jarak, sarana prasarana, usia, dan kesibukan dakwah seringkali menjadi kendala.
Untuk membantu niat shalih mereka dan demi memenuhi tuntutan dakwah di tengah masyarakat, arrahmah.com menurunkan artikel ulama yang menyodorkan solusi alternative atas problematika aktual di medan dakwah tersebut. Semoga bermanfaat bagi para alumni, calon alumni, aktivis dakwah, dan kaum muslimin seluruhnya.
Metode Baru Kuliah Ilmu-ilmu Keislaman:
Hafal Al-Qur’an dan 8 induk kitab hadits dalam waktu 4 Tahun
Oleh:
Syaikh Asy-Syahid, insya Allah, Yusuf bin Shalih Al-‘Ayiri
بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد الله رب العالمين والصلاة والسلام على محمد بن عبد الله وعلى آله وصحبه أجمعين أما بعد.
Kepada saudara-saudara kami, para penuntut ilmu syar’i…السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Saya tuliskan beberapa halaman artikel ini khusus berkaitan dengan metode menuntut ilmu. Lebih baik apabila metode ini dipraktekkan oleh sekelompok pemuda agar mereka bisa saling membantu dalam kebajikan dan ketakwaan. Hal itu akan lebih mendorong mereka untuk melanjutkan belajar dan meraih pahala yang lebih besar. Saya berdoa kepada Allah semoga menjadikannya sebagai kebaikan dan memberi manfaat dengannya.Allah SWT berfirman,
(وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُواْ كَآفَّةً فَلَوْلاَ نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَآئِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُواْ قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُواْ إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ)
Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (QS. At-Taubah (9): 122)Ayat ini merupakan dalil kewajiban menuntut ilmu sebagaimana kewajiban berjihad. Hukum kedua amalan ini fardhu kifayah. Hukum jihad dalam beberapa keadaan menjadi fardhu ‘ain, demikian pula hukum menuntut ilmu dalam beberapa keadaan menjadi fardhu ‘ain. Saat hukum menuntut ilmu menjadi fardhu ‘ain atas umat ini dalam beberapa keadaan, maka berdosalah orang yang tidak menuntut ilmu atau tidak membantu orang yang menuntut ilmu saat ia memiliki kemampuan untuk membantu.
Saya tidak berbicara panjang lebar tentang hal ini, karena tujuan saya hanyalah mengingatkan kedudukan ilmu dan perintah menuntut ilmu sebagaimana halnya perintah untuk berjihad. Imam Al-Qurthubi saat menafsirkan ayat di atas menulis, “Ayat ini merupakan dasar kewajiban menuntut ilmu.” Beliau juga menulis, “Ayat ini mewajibkan untuk belajar mendalami Al-Qur’an dan as-sunnah, dan hukumnya fardhu kifayah, bukan fardhu ‘ain.”
Anda semua sudah mengetahui keutamaan orang yang berilmu dan peranannya terhadap masyarakat. Ilmu berkurang dengan meninggalnya para ulama, dan hal itu merupakan salah satu pertanda kiamat. Jika orang-orang bodoh menjadi pemimpin, mereka akan ditanya, lalu mereka memberi fatwa tanpa dasar ilmu sehingga mereka tersesat dan menyesatkan orang lain. Akibatnya kita semua binasa.
Barangsiapa ingin menempuh jalan menuntut ilmu maka hendaklah ia mengikuti metode salaf shalih dan tatacara mereka mendaki jenjang keilmuan sehingga mereka menjadi mercusuar dan pelita petunjuk. Ilmu sekali-kali bukanlah monopoli seseorang, kenyataannya hanyalah kita lebih lambat dari generasi salaf. Meski begitu, barangsiapa bersungguh-sungguh mencarinya, niscaya akan menggapainya seperti generasi salaf yang telah menggapainya. Karena ilmu adalah cahaya dari Allah yang akan Dia karuniakan kepada siapa saja yang Dia kehendaki. Sungguh Allah Maha Mengaruniakan karunia yang agung.
Para salaf shalih memulai pembelajaran dengan menghafal Al-Qur’an, lalu menghafal As-sunnah, dan memahaminya dengan pemahaman yang benar. Setelah itu mereka berijtihad berdasar pemahaman mereka terhadap Al-Qur’an dan As-sunnah. Misalnya, syaikhul Islam dalam Majmu’ Fatawa-nya menjelaskan bahwa ia beberapa kali membantah pendapat ulama generasi sebelumnya di bidang akidah padahal umurnya saat itu baru 11 tahun. Imam Malik mulai berfatwa saat umurnya baru 18 tahun. Imam Asy-Syaukani juga mulai memberi fatwa dalam umur yang sama. Contoh lainnya sangat banyak.
Sebenarnya menuntut ilmu itu mudah. Tidak perlu menakut-nakuti orang zaman sekarang. Jika kita menempuh jalan salaf shalih, niscaya kita juga akan mencapai apa yang berhasil mereka capai. Tak diragukan lagi, generasi salaf shalih tersebut adalah orang-orang yang berkonsentrasi penuh dalam mengadakan lawatan (kepada para ulama di berbagai negeri) dan menuntut ilmu. Mereka bukanlah para pegawai.
Adapun kita justru menyia-nyiakan waktu dalam mempelajari detail-detail kedalaman (spesialisasi) ilmu-ilmu alat, meskipun para ulama fiqih dan hadits menyusun ilmu-ilmu tersebut sebagai cara untuk memahami Al-Qur’an dan as-sunnah, bukan untuk menggantikan keduanya. Ilmu-ilmu tersebut hanyalah sarana, bukan tujuan. Sungguh sayang, di zaman kita hidup saat ini, orang yang menuntut ilmu menyia-nyiakan umur dan usahanya dalam menghafal pendapat para ulama dan fatwa-fatwa mereka, sebagai ganti dari menghafal Al-Qur’an dan as-sunnah. Cukuplah hal itu sebagai sebuah keburukan, meskipun Al-Qur’an dan as-sunnah diganti dengan menghafal pendapat-pendapat Abu Bakar dan Umar RA.
Di sini saya hendak menjelaskan dua hal;
Pertama, cara menghilangkan kendala-kendala dalam menuntut ilmu.
Kedua, lamanya masa menuntut ilmu lengkap dengan metode terperinci yang disarankan dan telah dipraktekkan.
Cara menghilangkan kendala-kendala dalam menuntut ilmu
Tidak diragukan lagi bahwa kendala terbesar bagi penuntut ilmu pada zaman sekarang adalah kendala waktu. Kebanyakan para pemuda yang berniat menuntut ilmu pada zaman sekarang bekerja selama tidak kurang dari tujuh (7) jam per hari. Ia baru pulang ke rumah pada waktu telah masuk adzan Ashar, dengan kondisi badan yang sangat capek. Sisa waktunya ia pergunakan untuk urusan keluarga dan urusan-urusan lain.
Untuk mengatasi kendala ini, saya sarankan solusi sebagai berikut:
- Memilih minimal sepuluh (10) orang pemuda alumni jurusan-jurusan ilmu syari’ah (tafsir, hadits, fiqih, tarbiyah, bahasa Arab dll—pent). Usia mereka maksimal dua puluh empat (24) tahun, memiliki kecerdasan, hafalan yang kuat, asal-usul yang baik dan mendapat rekomendasi (pernyataan bahwa ia orang yang baik—pent) dari kawan-kawan atau syaikh-syaikhnya, akhlaknya baik, tidak melakukan hal-hal yang remeh (tidak senonoh), dan yang paling penting memiliki tekad kuat untuk menuntut ilmu. Untuk itu perlu ditulis biodata singkat setiap calon murid, yang memuat catatan tentang hafalan, spesialisasi (jurusan) kuliah, syaikh-syaikh, dan aktivitas-aktivitas dakwahnya. Syarat lainnya ia tidak terikat dengan program-program selain program khusus pendalaman ilmu syar’i ini. Jika perlu boleh ditambahkan syarat-syarat lain yang mendukung kelayakan calon penuntut ilmu untuk mengikuti program ini.
- Kesepuluh orang penuntut ilmu tersebut mencurahkan waktunya selama empat tahun penuh untuk belajar. Mereka tidak harus belajar penuh kepada seorang ulama mujtahid, karena di zaman sekarang hal itu sangat sulit dilakukan. Cukuplah mereka datang kepada ulama tersebut setiap akhir enam bulan (akhir satu semester—pent) untuk ‘menyetorkan’ ringkasan pemahaman dan hafalan mereka. Seorang ulama atau penuntut ilmu senior sebaiknya mencurahkan waktunya sebagai pembimbing program mereka dan sebagai penilai tingkatan kemampuan mereka.
Perlu disebutkan di sini bahwa konsentrasi (dalam belajar, mengawasi, membimbing, dan menilai program pembelajaran—pent) merupakan faktor yang berperan besar ‘menelurkan’ banyak ulama di zaman salaf maupun khalaf. Para ulama terdahulu biasanya belajar di sekolah-sekolah yang khusus mengkaji ilmu-ilmu syar’i. Mereka dibiayai dari harta sedekah dan zakat. Misalnya Madrasah Shalihiyah bagi para ulama madzhab Hambali, Madrasah Dar Al-Jauziyah, dan lain-lain. Sebelum semua madrasah tersebut berdiri, para shahabat Ahlus Shuffah juga telah mencurahkan waktu mereka untuk menuntut ilmu di masjid Nabawi. Mereka dibiayai dengan harta sedekah dan zakat karena mereka miskin dan berkonsentrasi dalam menuntut ilmu dan berjihad. Pemimpin mereka adalah imamnya seluruh hufazh, Abu Hurairah RA. Umar RA tidak ingat hadits tentang meminta izin sebanyak tiga kali saat bertamu, dan ia mengatakan penyebabnya adalah ‘Aku lupa hadits itu karena terlalu sibuk berdagang di pasar’. Maka para ahlus shufah yang fokus dalam kegiatan belajar dan melayani Nabi SAW seperti Ibnu Umar, Amar bin Yasir, Abu Musa Al-Asy’ari, Abu Sa’id Al-Khudri, dan lain-lain memiliki ilmu yang lebih banyak dibanding para sahabat lainnya. Maka jelaslah, menuntut ilmu memerlukan pencurahan segenap waktu dan kemampuan. Mencurahkan segenap waktu dan kemampuan merupakan manhaj nabawi salafi yang telah melahirkan banyak ulama dan hufazh. Generai kita telah didahului oleh generasi Islam terdahulu dalam melaksanakan manhaj ini. Sayang sekali, pada zaman sekarang kita meninggalkan metode ini. Justru metode ini sekarang diterapkan oleh orang-orang Yahudi di sinagog, orang-orang Nasrani di gereja-gereja (kapel dan sekolah seminari—pent), dan orang-orang Rafidhah di Husainiyah (sekolah-sekolah agama Rafidhah=hauzah ilmiyah—pent).
- Setiap bulan masing-masing penuntut ilmu tersebut diberi beasiswa (tunjangan) dengan nominal minimal sebesar 4000 riyal (sekitar 11 – 12 juta rupiah, dengan kurs saat ini 1 riyal: Rp 2750-3000, pent). Tunjangan setahun untuk setiap penuntut ilmu tersebut adalah 50.000 riyal (sekitar 121-132 juta rupiah). Untuk masa belajar 4 tahun, beasiswa untuk masing-masing penuntut ilmu tersebut adalah sebesar 200.000 riyal (sekitar 484-528 juta rupiah). Beasiswa bisa diambilkan dari proyek investasi bisnis yang laba 25 %nya diperuntukkan para penuntut ilmu tersebut. Atau beasiswa tersebut bisa juga diambilkan dari zakat mal kaum muslimin. Cara manapun yang akan dipakai, yang pasti diperlukan beasiswa untuk pengadaan buku-buku pelajaran dan kajian-kajian ilmiah, (termasuk asrama dan akomodasi harian—pent). Biaya ini tidak banyak apabila dibandingkan dengan hasil yang akan dipetik dari metode pembelajaran yang saya sarankan ini. Alangkah baiknya apabila mereka memiliki sendiri perpustakaan besar tempat mereka berkumpul untuk melakukan kajian, setoran (hafalan dan karya tulis—pent), dan diskusi.
Metode pembelajaran ilmiah yang disarankan
Setelah menyiapkan segala prasyarat yang diperlukan untuk menjalankan program khusus pembelajaran ilmu syar’i ini. Langkah berikutnya adalah menyusun metode pembelajaran yang tidak mengikuti sistem sekolah klasik (ponpes tradisional—pent) dan sekolah modern (sekolah negeri maupun swasta—pent). Sistem pembelajaran yang akan dijalankan adalah:
- Sistem pembelajaran yang tegak di atas dasar Al-Qur’an dan as-sunnah sesuai pemahaman generasi salaf shalih.
- Sistem pembelajaran yang tidak menekankan pada pendalaman dan pengkajian ulang terhadap detail-setail kajian ilmu-ilmu ushul (ushul tafsir, ushul hadits, ushul hadits; dan ilmu-ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah, ‘arudh, dst—pent).
- Selama dua (2) bulan penuh, mempelajari matan Nukhbatul Fikr (ringkasan ilmu musthalah hadits karya al-hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani Asy-Syafi’i, pent) dan memahami syarhnya, matan Al-Waraqat (ringkasan ilmu ushul fiqih karya imam Abul Ma’ali Al-Juwaini Asy-Syafi’i, pent) dan matan Al-Ajrumiyah (ringkasan ilmu nahwu karya imam Muhammad Ibnu Ajrum As-Shanhaji, pent), sebagian kaedah-kaedah tafsir dan kaedah-kaedah fiqih tanpa harus mempelajari syarhnya yang panjang lebar, karena ia bisa memahaminya syarhnya secara detail dan beberapa koreksian maupun penjelasan tambahan atasnya pada pembelajaran berikutnya. Sebaiknya matan-matan ilmu-ilmu dasar ini dipelajari pada seorang ulama yang pakar sehingga mampu meringkaskan adab-adab penuntut ilmu, jalan-jalan menuntut ilmu, dan pendapat yang rajih dalam perkara-perkara yang diperselisihkan ulama.
- Setelah program dua bulan di atas dituntaskan dengan baik, maka selanjutnya ia berkonsentrasi penuh untuk menghafal Al-Qur’an. Setiap hari ia harus menghafal 2-4 halaman. Sehingga dalam jangka waktu Sembilan (9) bulan, ia telah menyelesaikan hafalan Al-Qur’an 30 juz. Ia menjadikan A-Qur’an sebagai wirid (bacaan rutin) harian sembari meringkas tafsirnya dari tafsir Ibnu Katsir (Tafsir Al-Qur’anul ‘Azhim, pent), tafsir Al-Baghawi (Ma’alimut Tanzil, pent), tafsir Al-Qurthubi (Al-Jami’ li-Ahkamil Qur’an, pent), dan tafsir Asy-Syaukani (Fathul Qadir, pent). Setiap hari ia menyetorkan hafalan wirid hariannya (misalnya 1-3 juz per hari, pent) kepada ulama yang menjadi pembimbingnya, sambil mendiskusikan sebagian pendapat para ulama tafsir. Sisa waktunya setiap hari dipergunakan untuk mengulang-ulang hafalan Al-Qur’an dengan tajwid yang baik. Ia juga menghafal sebagian matan Al-jazriyah (matan ringkas ilmu tajwid dan qira’at karya imam Abul Khair Ibnu Al-Jazri, pent). Setelah sembilan (9) bulan ia akan hafal seluruh Al-Qur’an (30 juz) dengan tajwid yang bagus dan mengerti pendapat para ulama tafsir an tafsiran yang paling kuat terhadap setiap ayat yang ia baca.
- Setelah itu ia mulai menghafal hadits. Dimulai dengan menghafal kitab Umdatul Ahkam (kitab hadits hukum yang memuat hadits-hadits yang disepakati oleh imam Bukhari dan Muslim, karya imam Abdul Ghani Al-Maqdisi, pent) dengan menghafal pendapat ulama yang paling kuat tentang makna setiap hadits. Jika ia menghafal 12 hadits per hari, niscaya ia mampu menghafal dan memahami isi kitab tersebut dalam waktu satu bulan saja. Untuk memahami penapat para ulama dalam menafsirkan makna setiap hadits, cukuplah ia membaca syarh yang ringkas yaitu kitab Taisirul ‘Allam (karya syaikh Abdullah Al-Bassam, pent), tidak perlu membaca kitab-kitab syarh yang panjang lebar.
- Untuk memperluas wawasannya di bidang hadits dan fiqih, langkah berikutnya adalah menghafal kitab Bulughul Maram (kitab hadits hukum karya al-hafizh Ibnu Hajar Al-Asqaani, pent) dengan memahami syarhnya dari kitab Subulus Salam (karya imam Ash-Shan’ani, pent) dan Nailul Authar (karya imam Asy-Syaukani, pent) serta meringkas pendapat yang paling kuat tentang para perawi yang lemah. Jika ia menghafal 20 hadits per hari, maka ia akan mampu menyelesaikan hafalan kitab ini dalam waktu dua (2) bulan. Jumlah ini tidaklah banyak, karena al-hafizh Ibnu Hajar dalam kitab tersebut tidak mencantumkan hadits sesuai teks asalnya yang panjang. Beliau hanya mencantumkan teks hadits secara ringkas pada bagian yang menjadi dalil langsung atas setiap permasalahan fiqih. Selain itu, sebanyak 410 hadits dalam kitab ini telah ia hafal terlebih dahulu dari kitab Umdatul Ahkam.
- Setelah itu menghafal Mukhtashar Shahih Muslim (karya imam Al-Mundziri, bukan yang karya syaikh Al-Albani, pent) dengan memahami syarhnya (dari Syarh An-Nawawi atau lainnya, pent) kemudian meringkasnya. Jumlah hadits dalam Mukhtashar Shahih Muslim sebanyak 2200 hadits. Jika ia menghafal 15 hadits per hari, niscaya ia akan menyelesaikan hafalannya dalam jangka waktu maksimal 5 bulan.
- Setelah itu menghafal hadits-hadits yang diriwayatkan oleh imam Bukhari yang tidak diriwayatkan oleh imam Muslim, dari kitab Mukhtashar Shahih Bukhari karya imam Az-Zubaidi (bukan yang karya syaikh Al-Albani, pent). Jumlahnya mencapai 680 hadits marfu’ bila tanpa penyebutan hadits yang diulang. Jika ia menghafal 15 hadits per hari, maka ia akan mampu menyelesaikan hafalan hadits-hadits Bukhari dalam jangka waktu 45 hari. Selama menghafal, ia membaca syarhnya dari kitab Fathul Bari (karya al-hafizh Ibnu Hajar Al-asqalani, pent) dengan meringkas pendapat yang paling kuat, mencatat hadits-hadits penguat dalam setiap permasalahan, mencatat dalil-dalil lain yang menjadi muqayyid (membatasi keluasan cakupan sebuah dalil) atau musharrif (memalingkan makna asal atau hukum asal sebuah dalil kepada makna atau hukum yang lain), atau mukhashish (mengkhususkan keumuman sebuah dalil), mencatat pendapat-pendapat Ibnu Hajar tentang keadaan para perawi hadits, kecatatan hadits, kaedah-kaedah fiqih dan kaedah-kaedah hadits. Meringkas Fathul Bari dengan metode ini akan memakan waktu maksimal 4 bulan.
- Setelah itu menghafalkan hadits-hadits yang belum disebutkan oeh imam Al-Mundziri dan imam Az-Zubaidi dalam (Mukhtashar) Shahih Musim dan Shahih Bukhari. Caranya dengan kembali kepada Shahih Bukhari dan Shahih Muslim secara langsung pada bagian hadits-hadits yang marfu’ dengan meninggalkan hadits-hadits mu’allaq, atau dengan cara kembali kepada kitab Al-Jam’u baina Ash-Shahihahin (karya imam Muhammad bin Fatuh Al-Humaidi, pent), atau kembali kepada kitab Al-Lu’lu’ wal Marjan (karya syaikh Muhammad Fuad Abdul Baqi, pent). Jumlahnya sekitar 100 hadits, dan bisa dihafalkan dalam jangka waktu satu minggu.
- Setelah itu menghafalkan hadits-hadits yang diriwayatkan oleh imam Abu Daud (Sunan Abu Daud, pent) dan tidak diriwayatkan oleh imam Bukhari dan Muslim dalam kedua kitab Shahihnya. Jumlahnya adalah 2450 hadits marfu’ bila tanpa pengulangan. Jika ia menghafal 20 hadits per hari, maka ia akan mampu menyelesaikan hafalannya dalam jangka waktu 4 bulan. Sambil menghafal, ia membaca syarhnya dari kitab ‘Aunul Ma’bud (karya imam Syamsul Haq ‘Azhim Abadi, pent), sambil mencatat pendapat yang paling kuat, kecacatan hadits, dalil-dalil lain yang berfungsi sebagai syahid (hadits penguat), muqayyid, musharrif, atau mukhashish, dan catatan-catatan penting lainnya.
- Setelah itu menghafal hadits-hadits yang diriwayatkan oleh imam At-Tirmidzi (Sunan At-Tirmidzi, pent) namun tidak diriwayatkan oleh imam Bukhari, Muslim, dan Abu Daud. Jumlahnya sebanyak 1350 hadits marfu’ bila tanpa pengulangan. Jika setiap hari ia menghafal 20 hadits, maka ia akan menyelesaikan hafalannya dalam jangka waktu sekitar 2 bulan. Sambil menghafal, ia membaca dan meringkas penjelasannya dari kitab Tuhfatul Ahwadzi (karya imam Muhammad Abdurrahman Al-Mubarakfuri, pent) seperti cara yang ia lakukan saat membaca dan meringkas ‘Aunul Ma’bud.
- Setelah itu menghafal hadits-hadits yang diriwayatkan oleh imam An-Nasai (Sunan An-Nasai, pent) namun tidak diriwayatkan oleh imam Bukhari, Muslim, Abu Daud, dan At-Tirmidzi. Jumlahnya sebanyak 2400 hadits marfu’ bila tanpa pengulangan. Jika setiap hari ia menghafal 20 hadits, maka ia akan menyelesaikan hafalannya dalam jangka waktu sekitar 120 hari (4 bulan).
- Setelah itu menghafal hadits-hadits yang diriwayatkan oleh imam Ibnu Majah (Sunan Ibnu Majah, pent) namun tidak diriwayatkan oleh imam Bukhari, Muslim, Abu Daud, At-Tirmidzi, dan An-Nasai. Jumlahnya sebanyak 600 hadits marfu’ bila tanpa pengulangan. Sebanyak 500 hadits di antaranya adalah hadits dha’if, maka ia hanya perlu menghafal sisanya 100 hadits yang shahih. Ia bisa menyelesaikan hafalannya dalam jangka waktu seminggu. Ia juga harus sering membaca sisa 500 hadits yang dha’if tersebut.
- Setelah itu menghafal hadits-hadits marfu’ yang diriwayatkan oleh imam Malik dalam Al-Muwatha’ namun tidak diriwayatkan oleh imam Bukhari, Muslim, Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah. Jumlahnya sebanyak 50 hadits marfu’ dan ia bisa menyelesaikan hafalannya dalam jangka waktu tiga hari. Sambil menghafal, ia meringkas dari kitab Al-Muwatha’ hadits-hadits mauquf, fatwa-fatwa generasi shahabat dan fatwa-fatwa imam Malik. Selain itu, ia juga mengkaji (syarh Al-Muwatha’ dan madzhab imam Malik) dari kitab At-Tamhid dan Al-Istidzkar (keduanya karya imam Ibnu Abdul Barr Al-Maliki, pent).
- Setelah itu menghafal hadits-hadits yang hanya disebutkan dalam kitab Nailul Authar (Syarh Muntaqal Akhbar, karya imam Asy-Syaukani, pent). Tapi bukan menghafal dari kitab Muntaqal Akhbar (kitab matannya, karya imam Majdudin Abul Barakat Ibnu taimiyah Al-Harrani Al-Hambali, pent), karena dalam kitab syarh tersebut terdapat hadits-hadits yang selayaknya ia hafal. Hadits-hadits tersebut mestinya sudah ia catat saat pertama kali membaca kitab Nailul Authar. Jumlahnya mencapai 500 hadits marfu’ dan ia bisa menyelesaikan hafalannya dalam jangka waktu satu bulan.
- Setelah itu menghafal hadits-hadits dalam Musnad Ahmad yang tidak diriwayatkan oleh imam Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, An-Nasai, Ibnu Majah, dan Malik. Jumlahnya bila tanpa pengulangan dan tanpa syawahid (hadits-hadits penguat) dalam kitab hadits ketujuh ulama di atas mencapai 1500 hadits. Ia bisa menyelesaikan hafala tersebut dalam jangka waktu dua bulan.
- Setelah itu meringkas kitab Majmu’ Fatawa (36 jilid) dan Al-Fatawa Al-Kubra (5 jilid, keduanya adalah kompilasi fatwa syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Al-Harrani, pent). Hal itu bisa diselesaikan dalam waktu 4 bulan.
- Setelah itu menghafal matan fiqih, misalnya Zadul Mustaqni’ (karya imam Syarafudin Musa Al-Hijawi, pent) atau Ad-Durrah Ats-Tsaminah (karya imam Ash-Sharshari, pent). Fungsinya adalah untuk menertibkan dalil-dalil yang telah ia hafal dan mengetahui cara pemaparannya untuk kepentingan mengajar dan memberi manfaat kepada orang lain. Jadi bukan untuk membela madzhab (kedua matan tersebut adalah kitab untuk madzhab Hambali, pent). Matan Ad-Durrah akan memakan waktu satu bulan, adapun matan Zadul Mustaqni’ membutuhkan waktu lebih dari satu bulan.
- Menghafal Al-Aqidah Al-Washitiyah (karya syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, pent). Ia tidak akan menemukan kesulitan karena seluruh dalil dalam buku itu telah ia hafal sebelumnya (yaitu saat ia menghafal Al-Qur’an dan kitab-kitab hadits, pent). Fungsi menghafal kitab ini adalah menertibkan dalil-dalil untuk setiap bab (permasalahan akidah). Sambil menghafal, ia membaca syarhnya dan memperdalamnya dengan membaca kitab At-Tauhid karya imam Ibnu Khuzaimah. Setelah selesai, ia melanjutkan dengan meringkas kitab Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal jama’ah karya imam Al-Laalikai. Pada sebagian permasalahan akidah yang mengandung banyak perbedaan pendapat ulama, ia menghafalnya dari kitab Al-Aqidah Ath-Thahawiyah (karya imam Abu Ja’far Ath-Thahawi Al-Hanafi, pent) dan meringkas penjelasannya dari kitab Syarh Al-‘Aqidah Ath-Thahawiyah (karya imam Ibnu Abil Izz Al-Hanafi, pent). Setelah itu ia menghafal kitab At-Tauhid karya syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan meringkas syarhnya. Ia tidak akan menemui kesulitan yang berarti, karena semua dalilnya telah ia hafakan sebelumnya. Semua proses ini memakan waktu tiga bulan.
- Ia mencatat semua masalah yang diperselisihkan oleh para ulama dalam kitab-kitab syarh di atas. Mestinya hal itu sudah ia lakukan sejak pertama kali ia membaca kitab-kitab syarh di atas. Setelah itu ia mengkajinya secara mendalam dengan menelaah kitab Al-Mughni (salah satu induk kitab fiqih madzhab Hambali karya imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, pent), Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab (salah satu induk kitab fiqih madzhab Syafi’I karya imam An-Nawawi, pent), At-Tamhid (salah satu induk kitab fiqih madzhab Malik karya imam Ibnu Abdil Barr, pent), Nashbur Raayah (kitab takhrij hadits atas Al-Hidayah, salah satu induk kitab fiqih madzhab Hanafi karya imam Az-Zaila’i, pent), Al-Muhalla (salah satu induk kitab fiqih madzhab Zhahiri, karya imam Ibnu Hazm Al-Andalusi, pent), dan sebagian kitab induk pegangan masing-masing madzhab. Semua penuntut ilmu yang mengikuti program belajar ini wajib teribat aktif dalam kegiatan bersama; mengkaji, berdiskusi, dan menghafal sebagian hal yang diperlukan oleh setiap penuntut ilmu. Kegiatan ini membutuhkan waktu maksimal dua bulan, tergantung kesungguhan mereka saat meringkas dengan mengeluarkan perkara-perakra yang diperselisihkan oleh para ulama dalam kitab-kitab syarh di atas.
- Membaca kitab sejarah Al-Bidayah wan Nihayah (karya imam Ibnu Katsir Asy-Syafi’I, sampai peristiwa tahun 760-an H, pent) dan tambahannya (peristiwa tahun tersebut sampai abad modern) dari kitab At-Tarikh Al-Islami karya syaikh Mahmud Syakir. Hal ini membutuhkan waktu dua bulan.
- Seluruh anggota program ini mendatangi seorang ulama mujtahid, dan dengan tekun senantiasa ‘menyetorkan’ hal terpenting yang mereka telah hafalkan, pahami, dan masalah-masalah yang diperselisihkan oleh para ulama. Seluruh anggota program ini juga belajar kepada ulama mujtahid tersebut beberapa ilmu yang hanya bisa dikuasai lewat belajar secara langsung kepada ulama. Misalnya Ar-Rahabiyah (matan kitab tentang ilmu warisan karya imam Ibnu Muwaffiquddin Ar-Rahabi, pent), sebagian bahasan dalam matan Al-Alfiyah (matan kitab Nahwu dan Sharaf karya imam Ibnu Malik Al-Andalusi, pent), kitab Al-Alfiyah (matan kitab ilmu hadits karya imam Al-‘Iraqi, pent), dan masalah-masalah yang sulit dalam bidang kaedah-kaedah al-jarh, at-ta’dil, dan dirasah al-asanid (kajian sanad-sanad hadits). Intinya, mereka berhasil menguasai ilmu-ilmu yang membuat mereka telah layak untuk memberi pelajaran dan fatwa. Hal ini mudah, dengan izin Allah, dan memakan waktu sekitar enam bulan.
Karya Tulis
Kegiatan terakhir, masing-masing peserta mengumpulkan hadits-hadits yang telah ia seleksi, pendapat-pendapat para ulama dan perkara-perkara sulit (rancu) yang ditemuinya, dan jawaban panjang-lebar para ulama terhadapnya. Setiap peserta menyusun hasil kajian masing-masing dalam satu karya. Setelah itu dipaparkan kepada seorang ulama untuk disetujui dan diperbaiki. Menyusun karya seperti ini pada zaman sekarang cukup mudah dengan bantuan komputer. Saya tidak hendak panjang lebar menguraikan teknisnya.
Pada akhirnya, akan lahir karya-karya tulis yang menyebutkan untuk kita pokok-pokok hadits untuk setiap induk kitab hadits di atas, lengkap dengan uraian kecacatan hadits, pendapat para ulama dalam setiap permasalahan yang diperselisihkan, fatwa para ulama mujtahid, dan catatan-catatan penting lainnya. Karya tulis tersebut adalah ringkasan kerja keras sepuluh peserta selama empat tahun belajar.
Penutup
Dengan demikian, program belajar ini memakan waktu 3 tahun 7 bulan. Selama masa tersebut, para peserta menghafal Al-Qur’an dan memahaminya dengan pemahaman yang benar dan diakui dan menghafal 9200 hadits. Setelah itu mereka mencurahkan tenaganya untuk mengajar, memberi fatwa, melakukan kajian-kajian ilmiah yang bermanfaat, mempelajari buku-buku kontemporer dan ilmu-ilmu yang lain.
Sebagai catatan penting, sekaligus untuk lebih menyemangati para calon peserta, dan mengingat-ingat akan besarnya nikmat Allah kepada saya… di sini saya akan ceritakan bahwa program belajar ini bukanlah khayalan dan mimpi belaka. Alhamdulillah, saya telah menyelesaikan sekitar 90% program belajar ini hanya dalam jangka waktu dua tahun. Saya berdoa kepada Allah semoga membantu saya untuk mampu menyelesaikannya. Allah-lah Sang Pemberi taufik.
Beberapa Catatan:
- Peserta yang mendapat tiga kali peringatan karena tidak menghafal atau absen (tidak hadir) dikenai sanksi: dikeluarkan dari program ini.
- Selama mengikuti program ini, setiap peserta tidak boleh terlibat dalam kegiatan mengajar, atau kegiatan dakwah, atau bisnis, atau hal-hal lain yang menyibukkan, termasuk menjadi imam shalat jika hal itu membuatnya sibuk dari mengikuti program ini.
- Selama masa pembelajaran, setelah ia menyelesaikan hafalan Al-Qur’an 30 juz, setiap hari ia harus mengulang-ulang hafalan minimal 4 halaman. Dengan demikian, ia bisa mengkhatamkan Al-Qur’an setiap empat bulan sekali.
- Setiap peserta diberi waktu dua minggu untuk mengulang hafalan setiap buku yang telah ia hafalkan.
- Agar program ini bisa diselesaikan, peserta harus diam-diam (tidak menyebar luaskan ceritanya), sehingga ia tidak akan menemui banyak kendala, orang-orang yang iri, atau orang-orang yang melemahkan semangat belajarnya jika mereka mengetahui rincian metode belajar ini.
- Tidak membicarakan teknis program ini meskipun kepada para ulama (yang menjadi pembimbing program), sehingga tidak muncul banyak usulan yang justru menyelisihi metode yang telah diprogramkan. Banyaknya usulan seperti itu akan menyebabkan keragu-raguan dan melemahkan semangat para peserta untuk menyelesaikan program belajar.
0 komentar:
Posting Komentar