Anda telah menjual diri Anda kepada Allah U. Di hadapan Anda tidak ada pilihan lain selain menyerahkan apa yang telah Anda jual kepada yang telah membelinya.
إِنَّ اللهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ
Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. (at-Taubah : 111)
Apabila pembeli telah menerima barang yang dijual maka dia berhak berbuat sesukanya dan menempatkannya sesukanya. Jika dia ingin, dia bisa meletakkannya di istana, bisa juga dia meletakkannya di penjara. Jika dia ingin dia bisa memakaikan baju terindah kepadanya, bisa juga dia menjadikannya telanjang kecuali kain yang menutupi auratnya. Jika dia ingin dia bisa menjadikannya kaya, bisa juga dia menjadikannya fakir papa. Jika dia ingin dia bisa memanjangkan umurnya, bisa juga dia menggantungnya pada tiang gantungan, atau dikuasakan atasnya musuhnya lalu musuh itu membunuhnya, atau mencincangnya.
Apakah baik jika seorang yang telah menjual seekor kambing lalu ia marah kepada orang yang telah membelinya, di saat orang itu menyembelihnya. Pantaskah jika hatinya gundah karenanya?!
Belum pernahkah Anda dengar tentang singa Allah dan singa Rasul-Nya, Hamzah bin ‘Abdulmuthallib t? Perutnya telah dirobek. Hatinya telah dikeluarkan. Dan ia pun dicincang.[1] Demikian pula halnya dengan para sahabat Nabi r yang menjadi syuhada’ dalam perang Uhud. Perut mereka dirobek, hidung dan telinga mereka diiris, bahkan Hindun binti ‘Utbah dan wanita-wanita Quraisy yang hadir bersamanya menjadikan hidung dan telinga para sahabat sebagai kalung dan gelang bagi mereka. Hindun binti ‘Utbah telah menyerahkan gelang kaki, kalung, dan perhiasannya kepada Wahsyi, sang pembunuh Hamzah ... sebagai balasan atas apa yang telah dilakukannya.[2]
Atau bahkan, belum pernahkan Anda dengar apa yang menimpa Rasulullah r saat perang Uhud?! Pipi dan wajah mulia beliau terluka. Sebiji gigi depan beliau pecah.[3] Dan beliau r hidup dari satu cobaan kepada cobaan yang lainnya. Benarlah perkataan Ibnu al-Jauziy, “Bukankah Rasul r pun perlu untuk mengucapkan, ‘Siapa yang mau melindungiku? Siapa yang mau menolongku?’ Bukankah beliau perlu untuk memasuki kota Mekah ditemani seorang kafir, bukankah beliau menyarungkan senjata dan menyimpannya di balik punggung, bukankah sahabat-sahabat beliau banyak yang terbunuh, bukankah beliau dilecehkan oleh orang-orang yang baru masuk Islam, bukankah beliau pernah mengalami kelaparan, dan beliau tetap teguh, tetap bergeming?… Lalu beliau pernah merasakan beratnya kelaparan, sampai-sampai beliau mengambil batu dan mengikatnya di perut? Padahal Allah adalah pemilik pintu-pintu langit dan bumi?.. Bukankah sahabat-sahabat beliau terbunuh, wajah beliau terluka, gigi depan beliau pecah, paman beliau dicincang, dan beliau tetap diam? Lalu beliau diberi rizki anak laki-laki, namun tak berselang lama anak kesayangan itu direnggut dari beliau? Lalu terhibur dengan Hasan dan Husain, tetapi segera diberitahu tentang apa yang akan menimpa keduanya. Beliau sangat menyayangi Aisyah t, lalu diguncanglah kehidupannya dengan kabar tuduhan zina. Beliau berusaha menampakkan mukjizat, namun dihadang oleh Musailamah, al-‘Insiy, dan Ibnu Shayyad. Datang kepada beliau Jibril yang terpercaya, namun kaumnya mengatakan, tukang sihir yang pendusta. Lalu dijadikanlah beliau merasakan sakit seperti yang dirasakan oleh dua orang, dan beliau tetap diam…tenang. Jika dikabarkan tentang keadaannya, beliau pun mengajarkan kesabaran. Lalu kematian datang, ruh beliau yang mulia terangkat, sementara jasad terbujur di atas kain usang dan sarung yang kasar… keluarga beliau tidak memiliki minyak untuk menyalakan lampu … walau untuk malam itu saja.”[4]
Saudaraku, cobalah untuk merenungkan kehidupan para Nabi dan Rasul. Mereka adalah manusia-manusia pilihan. Merekalah yang paling mulia di sisi Pencipta dan paling dicintai oleh-Nya. Meski begitu, Ibrahim telah dilempar ke dalam api, Zakariya telah digergaji, Yahya telah disembelih, Ayyub berada dalam ujian bertahun-tahun yang membinasakan harta dan anak-anaknya, Yunus terpenjara dalam perut ikan paus, Yusuf diremehkan dan dijual dengan harga murah, lalu menetap di penjara beberapa tahun. Semua itu, mereka ridla terhadap takdir Allah, ridla terhadap-Nya, Pelindung mereka yang sebenarnya.
Sebagian salaf ada yang berkata, “Dibelah tubuhku lebih aku sukai daripada aku katakan untuk sesuatu yang telah ditentukan oleh Allah, ‘Seandainya itu tidak terjadi.’”
Ada juga yang mengatakan, “Aku telah melakukan perbuatan dosa, aku tangisi dosa itu sejak 30 tahun yang lalu.” Ia adalah seorang yang bersungguh-sungguh dalam beribadah. Seseorang bertanya, “Apa dosa itu?” ia menjawab, “Sekali aku mengucapkan untuk sesuatu yang telah terjadi, ‘Seandainya itu tidak terjadi.’”
Wahai saudaraku, jadilah Anda menjadi bagian dari mereka-mereka yang aktivitas mereka tidak bertentangan dengan apa yang telah Allah lakukan, mereka yang pilihannya tidak berseberangan dengan pilihan Allah. Mereka tidak pernah mengucapkan, “Seandainya ini begini pasti begini.” atau “Semoga saja ..”, meski hanya sekali.
Apa yang Allah pilihkan bagi hamba-Nya yang beriman adalah pilihan yang terbaik, meski tampaknya sulit, berat, atau memerlukan pengorbanan harta, kedudukan, jabatan, keluarga, anak, atau bahkan lenyapnya dunia seisinya.
Cobalah mengingat kembali kisah perang Badar. Pikirkan baik-baik! Sebenarnya sebagian sahabat pada waktu itu lebih menyukai mendapatkan harta perniagaan[5], namun Allah memilihkan bagi mereka pilihan yang jauh lebih baik dan lebih utama daripada pilihan mereka.. Allah pilihkan bagi mereka pertempuran!
Perbedaan antara harta perniagaan dan pertempuran ini bagaikan perbedaan antara bumi dan langit. Apatah nilai harta perniagaan?! Makanan yang dikunyah lalu masuk ke jamban, pakaian yang akhirnya compang-comping dan dibuang, serta dunia yang hanya sesaat. Sedangkan pertempuran, bersamanya ada furqan yang dengannya Allah membedakan kebenaran dan kebatilan. Bersamanya ada kehancuran syirik dan keruntuhannya, serta tingginya tauhid dan kejayaannya. Bersamanya ada penumpasan tokoh-tokoh musyrik yang sebelumnya senantiasa menempatkan batu sandungan di jalan Islam, dien yang lahir di jazirah Arab, dst.. dst…
Cukup pula kiranya bersamanya, “Sesungguhnya Allah telah mencermati para tentara perang Badar, lalau berfirman, ‘Kerjakanlah yang kalian mau karena sungguh Aku telah mengampuni kalian.’”[6]
Mahabenar Allah yang telah berfirman,
وَإِذْ يَعِدُكُمُ اللهُ إِحْدَى الطَّآئِفَتَيْنِ أَنَّهَا لَكُمْ وَتَوَدُّونَ أَنَّ غَيْرَ ذَاتِ الشَّوْكَةِ تَكُونُ لَكُمْ وَيُرِيدُ اللهُ أَن يُّحِقَّ الْحَقَّ بِكَلِمَاتِهِ وَيَقْطَعَ دَابِرَ الْكَافِرِينَ
Dan (ingatlah), ketika Allah menjanjikan kepadamu bahwa salah satu dari dua golongan (yang kamu hadapi) adalah untukmu, sedangkan kamu menginginkan bahwa yang tidak mempunyai kekuatan senjatalah yang untukmu, dan Allah menghendaki untuk memenangkan kebenaran dengan ayat-ayat-Nya dan memusnahkan orang-orang kafir. (al-Anfal : 7)
Sebelum pembicaraan tentang poin ini saya akhiri, saya ingin memaparkan makna kalimat yang ditulis oleh Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad, dengan sedikit perubahan, “Sesungguhnya jika Allah menahanmu dari mendapatkan sesuatu, itu bukanlah karena Dia bakhil, khawatir kehilangan perbendaharaan-Nya, atau menyembunyikan hakmu. Akan tetapi itu adalah karena Dia ingin kamu kembali kepada-Nya, Dia ingin memuliakanmu dengan tunduk-pasrah kepada-Nya, menjadikanmu kaya dengan faqir kepada-Nya, memaksamu untuk bersimpuh di hadapan-Nya, menjadikanmu dapat merasakan manisnya ketundukan dan kefakiran kepada-Nya setelah merasakan pahitnya terhalang dari sesuatu. Supaya kamu memakai perhiasan ‘ubudiyyah, menempatkanmu di kedudukan yang tertinggi setelah kedudukanmu dicopot, supaya kamu dapat menyaksikan hikmah-Nya dalam qudrah-Nya, rahmat-Nya dalam keperkasaan-Nya, kebaikan dan kelembutan-Nya dalam paksaan-Nya, dan bahwa sebenarnya tidak memberinya adalah pemberian, pencopotan dari-Nya adalah penguasaan, hukuman dari-Nya adalah pengajaran, ujian dari-Nya adalah pemberian dan kecintaan, dikuasakannya musuh-musuhmu atasmu adalah yang akan menggiringmu kepadaNya.”
Siapa-siapa yang tidak memahami ini semua dengan hati dan akalnya serta beramal dengannya, sungguh ia memang tidak dapat menerima pemberian dan tidak membawa bejana. Orang yang datang tanpa membawa wadah, akan pulang dengan tangan hampa. Dan jika demikian, janganlah ia mencela selain mencela dirinya sendiri.
penulis: Dr. Najih Ibrahim
Penerjemah: Ust. Imtihan Syafi'i
[1] Seperti disebutkan dalam hadits Ibnu Mas’ud ra yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam Musnad, “...Lihatlah, Hamzah telah dirobek perutnya lalu Hindun mengambil hatinya, dikunyah-kunyahnya, namun ia tidak mampu memakannya..”
[2] Diriwayatkan oleh Muhammad bin Ishaq dari Shalih bin Kaisan seperti tersebut di dalam as-Siratun Nabawiyyah, Ibnu Hisyam, vol. II/91
[3] Disebutkan oleh Ibnu Hisyam dari Abu Ishaq dalam as-Siratun Nabawiyyah vol. II/79
[4] Shaidul Khathir, Ibnul Jauzi hal. 257-261
[5] Rujuk kembali tafsir surat al-Anfal : 5
[6] Hadits dengan redaksi di atas diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnad 2/295, Abu Dawud 4654, Hakim menshahihkannya dalam al-Mustadarak 4/77, dan disetujui oleh adz-Dzahabiy. Semuanya dari Abu Hurairah ra. Syekh Ahmad Syakir mengatakan, “Isnadnya shahih.” Sedangkan dengan redaksi “Kiranya Allah telah mencermati..” diriwayatkan oleh al-Bukhariy 7/305, Muslim 16/56, Abu Dawud 2650, at-Tirmidziy 3305, Ahmad dalam Musnad 1/80, dan al-Baihaqiy dalam as-Sunanul Kubra 9/147, semuanya dari hadits ‘Ali bin Abu Thalib ra. Ada juga hadits yang senada yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, dan Jabir bin ‘Abdullah ra, semuanya shahih.
0 komentar:
Posting Komentar